Bertempat di Gedung Lab Multidisiplin Pertamina F-MIPA UI, Kampus UI-Depok, hari ini (Rabu, 11 September 2019) berlangsung Diskusi Panel dengan tema Review 10 Tahun Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Diskusi panel yang diselenggarakan oleh Institut for Sustainable Earth and Resources (I-SER) dan F-MIPA UI ini menghadirkan enam pembicara, yaitu Prof. Rachmat Witoelar, Prof. Dr. Emil Salim, DR. Sonny Keraf, Prof. Hariadi Kartodihardjo, Dr. Andri Wibisana, Prof. Asep Warlan dan dimoderasi oleh Direktur I-SER, Prof. Jatna Supriatna.
UU-PPLH ditetapkan sepuluh tahun lalu saat Prof. Rachmat Witoelar menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan DR. Sonny Keraf menjabat sebagai ketua Komisi VII. Menurut Prof. Rachmat Witoelar agar rancangan undang-undang ini segera di proses, maka beliau meminta kepada DR. Sonny Keraf untuk mengambil alih, sehingga akhirnya rancangan ini ditetapkan menjadi UU setelah melalui proses selama 6 bulan. Disebutkan, bahwa itu merupakan proses tercepat pensahan sebuah undang-undang. DR. Sonny Keraf menyebutkan bahwa untuk memastikan rumusan naskah undang-undang tersebut tidak multi tafsir maka dalam proses pembuatannya melibatkan para pihak, dan untuk kepastian penerapannya dikenakan hukuman minimal sehingga diharapkan tidak ada putusan bebas murni. Sehingga setelah undang-undang ini di sahkan, DR. Sonny Keraf mengatakan bahwa banyak koleganya yang berlatar belakang pengusaha memberikan selamat sekaligus mengeluh karena membuat mereka menjadi sulit untuk bergerak.
Prof. Hariadi Kartodihardjo dalam uraiannya menyebutkan bahwa isi dari RUUPSDA yang tidak dilanjutkan pada 2007 banyak yang diakomodir dalam UU-PPLH seperti konsep ecoregion dan amdal yang pada pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang diharapkan, terlebih lagi tambah Prof. Hariadi Kartodihardjo, UU-PPLH bukanlah ditujukan sebagai alat pemaksaan namun lebih pada perubahan paradigma pembangunan.
Dr. Andri Wibisana dalam pemaparannya menyampaikan bahwa UU-PPLH belum perlu untuk di ubah karena isinya komprehensif namun ada bagian-bagian yang perlu disesuaikan seperti misalnya yang disampaikan oleh beliau dalam salah satu pasalnya mengenai hukuman bagi penyebab perubahan ambang baku mutu, disebutkan jika hal ini sulit untuk dituntut kecuali jika ditambahkan berkontribusi.
Prof. Emil Salim menyampaikan bahwa system politik kita harus mengangkat aspek lingkungan sebagai isu utama sehingga dalam penyampaiannya beliau merekomendasikan adanya kementerian koordinasi urusan lingkungan.
Dari semua narasumber sepakat bahwa kelembagaan menjadi isu penting dalam penegakkan hokum lingkungan hidup di Indonesia sehingga penguatan kelembagaan menjadi prioritas, dan dalam melakukan penguatan kelembagaan harus dikaji lebih mendalam akar permasalahan dalam pemerintahan sehingga program penggabungan atau pemisahan kementerian menjadi sebuah solusi yang menyelesaikan masalah. (Edy S.)