Eka Jully
Minggu, 24 Mei 2015 19.21 WIB
KBR, Jakarta – Pernah main ke Pulau Rambut? Ini salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Luasnya sekitar 45 hektare. Tidak terlalu luas memang, tapi di tempat ini ada hutan bakau yang perlu dilestarikan. Hutan bakau ini punya peran penting bagi kelestarian pulau tersebut. Jika tidak dihadang hutan bakau, bisa saja pulau yang tidak berpenghuni ini akan “hilang” akibat terjangan banjir dan rob.
Selain punya mangrove, pulau ini juga menjadi habitat burung-burung laut.
Perwakilan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Warsajah menyebut ada sekitar 50 jenis burung di sekitar tempat ini. Ada jenis burung kicau, burung air dan bangau. Jumlahnya sekitar 10 hingga 20 ribu burung. Tak heran, dalam perjalanan laut untuk menuju ke tempat ini, ratusan burung burung laut itu memperlihatkan aksinya sepanjang perjalanan. Burung-burung ini tengah bermigrasi dari belahan bumi Eropa menuju daerah yang lebih hangat dan mampir di Pulau Rambut untuk mencari makan dan bertelur.
KBR bersama perusahaan investasi, Reksadana dan TRASHI mengunjungi pulau yang berdekatan dengan Pulau Untung Jawa ini hari Sabtu (23/5/2015) lalu. Hanya perlu waktu sekitar 30 menit menyeberang dari pelabuhan Tanjung Pasir, Banten, kapal nelayan yang membawa rombongan sekitar 25 orang, tiba di dermaga Pulau Rambut.
Udara segar dan sepoi angin laut, menyapa kami ketika kapal berlabuh. Air degan (kelapa muda) yang dingin ikut menyambut kami. Dahaga langsung hilang, berganti dengan kesejukan.
Ayunan jaring yang diikatkan di antara dua pohon cemara pantai pun menjadi rebutan. Tua muda ingin menikmati ayunan di pinggir pantai itu. Maklum, jauhnya perjalanan dari Jakarta, membuat tubuh terasa capai.
Namun, itu tak menghilangkan niat kami untuk menanam mangrove dan menikmati kicau burung –burung laut di tempat ini.
Menjelajah Hutan
Sebelum menuju ke area penananam, kami diajak memasuki kawasan hutan campuran yang ada di Pulau Rambut. Pak Buang, salah satu pengelola Pulau Rambut, Pak Warsajah dari BKSDA DKI Jakarta, serta teman-teman pemandu dari TRASHI (Transformasi Hijau) menemani kami menjelajah kawasan hutan.
Bertemu dengan hewan-hewan yang tak dijumpai di daerah perkotaan macam Jakarta, membuat kami takjub.
Menurut Pak Buang, selain burung-burung jenis bangau, seperti bluok, pecuk, koak maling, roko-roko, yang ditemukan di pinggir pantai, di dalam hutan juga ditemukan biawak dan ular piton.
Penjelasan Pak Buang membuat kami tambah semangat untuk memasuki kawasan hutan. Kami sungguh penasaran dengan penampakan biawak. Seperti apa sih hewan ini?
Wow, baru beberapa langkah memasuki hutan, kami sudah disuguhkan lubang–lubang yang menganga. Kata pemandu kami, itu adalah lubang biawak. Lubang itu, terjejer hampir di sepanjang hutan. Artinya, hewan ini ada di dekat kami. Saking besarnya itu lubang, salah satu dari kami ada yang sampai terperosok ke dalamnya, karena posisi lubang ada di tengah jalan hutan.
“Sssst diam, itu ada biawak lagi keluar. Jangan berisik. Kalau berisik ia akan malu dan ngumpet, ” begitu kata salah satu pemandu kami.
Benar, ketika mendengar suara berisik, biawak–biawak itu pergi. Kami sempat melihatnya. Badannya besar, seperti anak komodo.
Tak jauh melangkah, kami juga melihat ular piton berlurik kuning. Ular itu bergelayut di cabang pohon. Tak bergerak. Ada yang ketakutan, ada pula yang sibuk mengabadikan gambarnya.
Sekitar setengah kilometer menjelajahi hutan, kami menaiki menara setinggi 20 meter. Dari atas menara ini, hamparan seisi pulau terpampang di depan mata. Bisa dilihat seberapa luasnya pulau yang terkenal dengan julukan Kerajaan Burung ini. Kami dikelilingi oleh pepohonan dan lautan.
Burung-burung laut yang diceritakan oleh Pak Buang beterbangan di atas pepohonan. Ada yang terbang bergerombol, ada pula yang terbang sendiri. Seolah mereka menari dan bermain kejar-kejaran dengan teman-temannya. Melihat burung –burung itu, serasa jiwa pun ikut terbang, karena kami pun sedang berada diketinggian.
“Eh, itu lihat ada burung,” kata salah seorang anak kecil yang ikut bersama kami. Ia antusias menunjuk kemana burung itu terbang.
Sayangnya, belum puas menikmati keindahan alam dari ketinggian, kami harus turun dari menara, karena tim lainnya sudah menunggu giliran untuk naik.
Jelajah hutan pun dilanjutkan. Rupanya, lokasi mangrove, tak jauh dari menara. Sekitar 50 meter melangkahkan kaki, terlihat mangrove yang gundul. Tanahnya becek. Karang mati bertebaran di mana-mana.
“Sepertinya, air laut sudah memasuki daratan,” kata Nina Dwisasanti, volunter TRANSHI.
Niatnya sih, kami akan mengelilingi kawasan ini, namun karena kondisinya yang tidak memungkinkan, apalagi banyak anak kecil yang ikut, pemandu pun membelokkan arah perjalanan. Kami memutar melalui jalan sebelumnya, untuk kembali ke tempat awal dan bersiap menanam mangrove.
Menanam mangrove
Bibit mangrove sudah berada ditempatnya, sekitar 20 meter dari bibir pantai. Kami langsung bergerak. Tanah berlumpur dengan kedalaman sekitar 10-20 cm harus kami lalui. Celana dan baju pun kotor. Anak-anak kecil usia 5-10 tahun yang ikut bersama kami, ikut menanam mangrove, lho. Mereka justru yang antusias.
Ada dua spot hutan bakau yang kami tanami. Bibit–bibit mangrove ini disediakan oleh Reksadana. Menurut Wahyu Nugroho, Head Unit Corporate Affair dan PKBL Reksadana, bibit pohon yang ditanam adalah jenis pohon api-api.
“Yang kita sediakan bibitnya ada 3400 pohon. Tapi, tadi yang ditanam sekitar 2000an. Sisanya, digunakan untuk tambal sulam. Jika ada yang mati, bisa diganti, agar tumbuhnya lebih bagus, ” ujar Wahyu.
Ia menambahkan, penanaman mangrove di Pulau Rambut ini adalah untuk ke-4 kalinya. Selain sebagai bentuk program CSR perusahaan, kegiatan ini dilakukan untuk pelestarian mangrove, agar pulau tetap terjaga.
Sekitar pukul 3 sore, kapal nelayan sudah menjemput. Artinya, kami harus segera meninggalkan Pulau Rambut. Sayang, tak boleh menginap di tempat ini.
Sayangnya lagi, pantai dengan pasir putihnya itu, harus ternoda dengan banyaknya sampah. Sampah-sampah itu, diperkirakan berasal dari Jakarta.
Sepanjang perjalanan menuju dan pulang dari Pulau Rambut, sampah mengapung di mana-mana. Padahal, sepanjang itu pula, burung- burung beterbangan dan mencari mangsanya. Semoga, burung-burung itu tidak salah mengira kalau sampah itu adalah mangsa mereka.
Editor: Citra Dyah Prastuti
Disalin dari laman Portal KBR