Monyet ekor panjang (Macaca fasicularis), mamalia terakhir di hutan mangrove Jakarta |
Ekosistem hutan mangrove di kota Jakarta terus mengalami penyusutan. Pada tahun 1900, Jakarta pernah memiliki hutan mangrove seluas 3.500 hektar. Enam dekade berikutnya, luasan tersebut berkurang menjadi 1.162,48 hektar. Sekitar 50 tahun kemudian, luasan tersebut menjadi 308,70 hektar.
Pada 31 Juli 1982, keputusan tersebut mengalami perubahan, ketika Dirjen Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan kepada PT. Mandara Permai yang memutuskan perubahan fungsi hutan mangrove Muara Angke menjadi tempat pemukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi dan lapangan golf. Luasan hutan mangrove Angke Kapuk yang diserahkan Menteri Kehutanan Soedjarwo kepada PT. Mandara Permai seluas 831,63 hektar yang akan dibangun untuk permukiman (487,89 hektar), bangunan umum mulai dari hotel, cottage, dan bangunan komersial lainnya (93,35 hektar), rekreasi dan olah raga (169,13 hektar) dan rekreasi air buatan (81,26 hektar).
Luas kawasan mangrove tersisa di Jakarta (diolah dari berbagai sumber) |
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh TRASHI di SMMA pada tahun 2010 – 2012 ditemukan 129 jenis burung baik migran maupun endemik dan 1 jenis mamalia Monyet ekor panjang (Macaca fasicularis). Jika dibandingkan dengan data tahun 1984 – 2002, kita melihat terjadi penurunan jumlah jenis mamalia. Setidaknya sejak tahun 1984, 3 jenis mamalia yaitu Kucing mangrove (Felis viverrina), Tenggarangan Herpentes javanicus) dan Anjing air (Lutrogale perspicillata) punah dari SMMA. Kepunahan ini berlanjut pada Lutung (Presbytis cristata). Pertemuan terakhir dengan jenis ini pada tahun 1988.
Punahnya beberapa jenis satwa liar tersebut dipicu oleh pembangunan yang dilakukan oleh PT. Mandara Permai. Pengubahan ekosistem rawa mangrove menjadi komplek perumahan telah mengubah fungsi ekologi hutan mangrove dan menyebabkan terjadinya fragmentasi kawasan hutan. Luasan hutan mangrove di SMMA yang tersisa sekarang praktis lebih sebagai hiasan saja. Pasalnya kawasan ekosistem hutan mangrove ini dengan kawasan serupa di sekitarnya, seperti Hutan Lindung Angke Kapuk, Taman Wisata Alam, Hutan Ekowisata dan Arboretum telah terfragmentasi. Pembangunan yang terjadi telah mengisolir satwa liar dan membatasi wilayah perburuan mereka untuk mencari makan dan berkembang biak.
Kelestarian satwa liar tersebut kini harus bersaing dengan beban sampah yang rutin masuk ke dalam kawasan setiap harinya dari Kali Angke. Kini, sampah tersebut sudah mengancaman kelangsungan hidup flora dan fauna yang ada di dalam benteng alam terakhir Jakarta. Perlu kepedulian dan aksi nyata dari warga Jakarta untuk menyelamatkan warisan alam terakhir ini. (Hendra Aquan – TRASHI)
Referensi:
a. Sejarah Kawasan Mangrove Muara Angke Jakarta
b. Belajar dari Sejarah: Tentang Pantai Indah Kapuk
c. Proyek Properti Jangan Gerus Kawasan Hutan