Briefing Media Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI)
[Jakarta, 21 Februari 2012] Pertanian saat ini masih menjadi pilar pemenuhan pangan masyarakat Indonesia. Namun tantangan pemenuhan pangan ini sangat besar. Penyempitan lahan pertanian akibat konversi lahan, perubahan RTRW dan degradasi kualitas lahan akibat pengelola monokultur, mekanisasi dengan penggunaan bahan kimia pertanian merusak ekosistem .
Degradasi kualitas lahan menurun akibat model pertanian tidak ramah lingkungan. Input intensif mulai dari benih, pupuk, pestisida, herbisida sehingga menyebabkan ketergantungan, pencemaran, kerusakan dan ketidakseimbangan ekosistem pertanian.
Perubahan iklim pun turut menyumbang terjadinya anomali cuaca ekstrim. Sehingga banyak terjadi banjir ataupun kekeringan dan ancaman hama penyakit tanaman. Kondisi ini diperkuat oleh Laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) berjudul Mitigation of Climate Change memastikan bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab perubahan iklim (IPPC, 2007). Berdasarkan data IPCC, antara tahun 1970 hingga 2004, di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2-1 derajat Celcius. Hal ini akan berdampak pada terjadinya kenaikan muka air laut, penurunan produksi pangan, kerusakan pesisir akibat banjir dan badai. Diperkirakan, dengan kenaikan muka air laut 50 cm di Pulau Jawa akan mengurangi produksi padi 1,2 juta ton/tahun (total produksi 2006 adalah 54,6 juta ton)[1]
Sebenarnya, tak dapat dipungkiri, Indonesia kaya keanekaragaman hayati. Lebih dari 800 spesies tumbuhan, 77 jenis karbohidrat, 75 jenis lemak/minyak, 26 kacang-kacangan, 389 buah ditemukan di Indonesia[2]. Masyarakat Indonesia memiliki berbagai sumber karbohidrat, seperti : sagu,talas dan ubi (Papua dan Maluku), umbi-umbian (Papua dan Jawa), gebang, sorghum/cantel (NTT), sukun dan lainnya. Demikian juga sumber kacang-kacangan, buah dan sayuran lokal. Akan tetapi, politik Pangan pemerintah berimbas pada pegalihan sumber pangan karbohidrat pada beras menyebabkan angka ketergantungan 100% pada beras sebagai makanan pokok, kecuali Maluku dan Papua yang tingkat ketergantungannya sudah 80% pada beras.
Kalaupun terjadi diversifikasi, terjadi salah kaprah, karena tidak berdasar pada pangan lokal. Konsumsi pangan lokal yang beragam beralih ke beras, terigu dan pangan olahan. Padahal Indonesia kaya keanekaragaman hayati terkait sumber pangan. Tak cuma itu, pemerintah juga membuka keran impor pangan“. Yang perlu digarisbawahi, diversifikasi atau penganekaragaman pangan tidak hanya karbohidratnya, melainkan sumber protein dan sumber vitamin (buah-buahan dan sayurpun berasal dari local bukan impor,” jelas Tejo Wahyu Jatmiko, Kordinator Aliansi Desa Sejahtera. Menurutnya, kemandirian pangan yang dibangun harus berbasis komunitas.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal menuju kemandirian pangan bersumber pangan lokal. Tak hanya itu, lahir pula Permentan Nomor 43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal (P2KP). Akan tetapi, kebijakan tersebut belum menjadi gerakan bersama yang menjadikan pangan lokal sebagai makanan sehat dan bermartabat di negerinya sendiri.
Pada 2010, pemerintah menggulirkan kampanye “One Day No Rice” yang mengajak public mengurangi konsumsi beras dengan pangan local seperti ubi, singkong, jagung, sukun, ganyong atau yang lain. Cara ini diharapkan dapat menghemat 1,1 juta ton beras senilai Rp 6 Triliun. Dan jika uang tersebut dialihkan untuk konsumsi pangan lokal, maka akan memberikan dampak yang luar biasa. Berdasar data BPS terjadi penurunan konsumsi beras sebesar 113 kg/kapita/tahun/orang dari 139/kg/kapita/tahun/orang. Akan tetapi disisi lain, angka impor gandum meningkat.
“Pemerintah memang telah banyak mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentang pangan lokal. Namun sayangnya ini masih terbatas pada slogan belaka, dan belum menjadi gerakan bersama,” tambah Puji Sumedi, Program Officer Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI.
Jika sumber pangan local banyak dikonsumsi, otomatis masyarakat akan tertarik untuk melestarikan sumber pangan lokalnya yang bersumber dari keanekaragaman hayati Indonesia. Sejak berdirinya di tahun 1994, Yayasan KEHATI mendukung upaya komunitas dalam pelestarian keanekaragaman hayati di daerah. Selain itu, Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) juga memberikan apresiasi kepada individu, kelompok masyarakat atau organisasi dalam bentuk penghargaan tertinggi dalam pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati Indonesia dengan KEHATI Award. “Penghargaan ini diselenggarakan setiap dua tahun sekali dan telah diberikan sejak tahun 2000 dengan 6 kategori yaitu: Prakarsa Lestari Kehati, Pendorong Lestari Kehati, Peduli Lestari Kehati, Cipta Lestari Kehati, Citra Lestari Kehati, dan Tunas Lestari Kehati,” jelas MS Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI.
Tahun 2012 ini Kehati Award mengambil tema “Keanekaragaman Hayati, Perempuan dan Ketahanan Pangan” . Tidak dipungkiri, perempuan merupakan pemegang peranan penting dalam pemenuhan pangan keluarga, mulai dari produksi sampai pada konsumsi di meja makan. Penghargaan ini dapat menginspirasi perempuan lainnya dalam melestarikan keanekaragaman hayati, sumber pangan local khususnya. Jika gerakan di tingkat komunitas ini bisa menjadi gerakan bersama akan menjadi modal ketahanan pangan.
Kontak Media :
Puji Sumedi, Kehati, 08121077883
Tejo Wahyu Jatmiko, ADS : 08161856754