Tidak ada tempat penampungan, warga buang sampah di tepi Ciliwung |
Air adalah barang penting bagi manusia. Betapa tidak, jika di pagi hari ketika kita hendak pergi ke kantor dan tiba-tiba tidak ada air untuk mandi, apa yang akan terjadi ? Air memiliki peran utama dalam hidup manusia. Tapi yang terjadi saat ini seolah manusia bisa hidup tanpa adanya air. Cadangan air tawar yang kita miliki sebenarnya sangat banyak dan berlimpah. Tapi dengan adanya perilaku manusia yang tidak bijak dalam mengelola sumber daya air tersebut membuat cadangan air tawar yang tersisa itu kini harus diperebutkan oleh banyak kepentingan.
Konflik Air
Saat ini telah terjadi pergeseran konflik dalam masyarakat. Jangan heran jika konflik itu bersumber dari barang sederhana yang sebelumnya kita pandang sebelah mata, yaitu air. Konflik yang terjadi ini karena adanya gesekan dari para pengguna air yang selama ini tidak kita sadari. Coba kita tengok Ciliwung. Apa yang bisa kita lihat di sana? Plastik, batang pohon, styrofoam, limbah rumah tangga dan berbagai jenis zat pencemar lainnya yang tidak kita ketahui.
Pencemaran yang terjadi di Ciliwung saat ini menyebabkan sungai ini sudah tidak layak lagi dimanfaatkan sebagai sumber pasokan air bersih bagi warga Jakarta. Betapa tidak, jutaan kubik air tawar yang berharga tersebut sudah tercemar mulai dari Bogor hingga Teluk Jakarta. Bisa dibayangkan jika Ciliwung adalah satu-satunya sumber utama air tawar warga Jakarta. Sayangnya hingga saat ini, baik pemerintah maupun masyarakat yang seharusnya merasa memiliki kepentingan atas air Ciliwung yang bersih seolah masih apatis melihat kondisi ini.
Ciliwung akan menjadi perdebatan sengit dan ajang saling tuding salah urus antara pemerintah Bogor dan Jakarta ketika pada musim hujan terjadi banjir bandang seperti yang terjadi pada tahun 2007 lalu. Namun selepas peristiwa tersebut apakah ada upaya mencari jalan keluar bersama agar hal yang sama tidak terulang lagi? Sepertinya hal ini masih jauh dari apa yang kita harapkan.
Menilai Kinerja Pemerintah, Lihatlah Sungai
Mengutip Rita Mustikasari, kegagalan tata pemerintahan secara mudah dapat dilihat dari kondisi sungai yang mengalir di tengah kotanya. Sungai merupakan alat ukur kemajuan atau kemunduran suatu pemerintah. Jika salah urus di sungai, pasti ada sesuatu yang salah dalam koordinasi internal pemerintahannya.
Ciliwung sebenarnya merupakan hal yang sederhana untuk menjadi negosiasi pengelolaan sungai secara terpadu oleh pemerintah Bogor dan Jakarta. Bandingkan dengan pengelolaan sungai lintas negara seperti Rhein yang membelah beberapa negara Eropa. Pengelolaan sungai lintas propinsi yang masih berada di negara yang sama tentunya akan jauh lebih mudah.
Melihat fenomena ini, sudah saatnya setiap pemangku kepentingan dalam pemanfaatan Ciliwung duduk bersama melakukan kompromi dan negosiasi pengelolaan sungai secara berkelanjutan. Pada tahapan ini, seharusnya pemerintah bisa ikut aktif terlibat sebagai pemegang kebijakan. Namun yang terjadi di lapangan justru pemerintah kadang menghambat proses. Kerumitan birokrasi merupakan menjadi alasan yang harus dimaklumi oleh masyarakat.
Proses yang terjadi berikutnya justru di luar dugaan kita. Masyarakat yang selama ini dipandang sebelah mata tidak mampu berpendapat dan bertindak dalam memperjuangkan hak mereka atas sumber daya air yang bersih, kini justru telah jauh melampaui pemerintah. Hal ini terjadi karena masyarakat memiliki keleluasaan gerak yang bebas dan tidak harus mematuhi aturan birokrasi yang membingungkan.
Sebut saja DAS Ciliwung yang saat ini kelompok masyarakatnya dari Bogor hingga Jakarta sudah mulai berjejaring untuk melakukan upaya penyelamatan Ciliwung dari sampah. Bentuk kegiatan yang dilakukan bisa dibilang sederhana, seperti memulung sampah di sungai setiap hari, melakukan penanaman pohon di tepi sungai, pembudidayaan tanaman asli Ciliwung, pembenihan ikan asli Ciliwung, hingga pendidikan lingkungan untuk warga tepi sungai melalui dongeng lingkungan dan perpustakaan warga.
Upaya yang dilakukan oleh kelompok masyarakat ini menjadi bukti, bahwa sebenarnya hak warga untuk mendapatkan sumber daya air yang bersih dan sehat itu dapat diusahakan secara mandiri tanpa perlu keterlibatan aparat pemerintah. Aksi sederhana yang dilakukan oleh beragam Komunitas Ciliwung yang tersebar dari Bogor dan Jakarta ini sering dimanfaatkan menjadi media komunikasi dan berbagi pengetahuan dalam pengelolaan sungai.
Ketika arus informasi pengelolaan sungai berbasis masyarakat ini kelak terbangun, tentunya tanpa diminta oleh pemerintah ataupun diancam dengan hukuman kurungan, kepedulian warga untuk menjaga sungai yang ada di sekitarnya tentu akan terbentuk dengan sendirinya.
Dukungan Pemerintah Pada Upaya Mandiri Masyarakat
Henry Adam, seorang penggiat Komunitas Ciliwung mengatakan bahwa membangun kepedulian warga akan pentingnya memiliki sungai yang bersih dapat dilakukan dengan cara yang sangat sederhana. Bangkitkan kenangan masyarakat pada kondisi Ciliwung yang bersih seperti mereka kecil dulu. Kenangan akan indahnya sungai tersebut, secara tidak langsung akan menjadi penyemangat mereka untuk ikut terlibat dalam upaya penyelamatan sungai.
Berdasarkan pengalaman Henry bersama warga Glonggong, Bojonggede, pada dasarnya warga ingin memiliki sungai yang bersih. Kendala utama warga saat ini adalah tidak adanya tempat sampah yang bisa menampung sampah rumahnya setiap hari. Jalan praktis yang dilakukan oleh warga adalah dengan membuang sampah langsung ke sungai, karena lebih mudah. Sampai saat ini belum ada bantuan pemerintah untuk pengadaan tempat sampah. Jika sudah ada tempat sampah, siapa yang nantinya akan mengangkut. Apakah pemerintah akan menyediakan sarana pengangkutannya?
Pada tahap ini sebenarnya masyarakat sudah tahu bahwa membuang sampah ke sungai merupakan tindakan terlarang. Jika merunut kembali, ada sebuah sistem yang belum siap menunjang keinginan warga akan sungai yang bersih, yaitu komitmen pemerintah untuk menyiapkan tempat penampungan sampah serta armada pengangkutnya.
Ketimpangan dukungan pemerintah pada aksi penyelamatan sungai oleh masyarakat membuat masyarakat kembali harus berinisiatif. Pemerintah memang belum bisa diharapkan untuk berpikir dan bertindak aplikatif dan sederhana. Sebagai contoh, pemilahan sampah yang sudah dilakukan oleh beberapa warga Jakarta, ketika diangkut oleh truk sampah Dinas Kebersihan akan dicampur lagi. Pengalaman ini membuat warga heran, sosialisasi pemilahan sampah yang dilakukan oleh pemerintah ternyata sering dilanggar oleh pemerintah sendiri.
Tidak ingin terjebak dalam dilema ini. Beberapa komunitas yang aktif dalam kegiatan penyelamatan Ciliwung seperti Green Camp Halimun memberikan tawaran yang berbeda untuk warga melek sampah ini. Sampah yang sudah terpilah kemudian akan ditampung dan dikelola oleh Green Camp. Konsepnya mirip dengan bank sampah namun dalam bentuk yang lebih sederhana.
Dari pengalaman tersebut terlihat, bahwa ketidaksiapan pemerintah dalam merespon warga melek sampah ini sebenarnya memiliki sisi positif. Masyarakat diajak untuk bertindak kreatif dan berpikir inovatif untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun di sisi lain, pemerintah tidak etis juga melepaskan masyarakat untuk berjuang sendiri menyelamatkan sumber daya air mereka. Bagaimanapun juga upaya yang sudah dilakukan masyarakat ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai batu loncatan pengelolaan dan pemeliharaan sumber daya air dengan cara pandang baru.
Pada tahapan ini sudah saatnya pemerintah tidak lagi berpikir mengelola sungai secara teknis saja. Pengelolaan sungai idealnya dilakukan dengan mendengarkan kepentingan dari setiap kelompok pengguna air dan mencari kompromi bersama untuk sumber daya air yang berkelanjutan. Pengelolaan secara teknis adalah hal yang paling mudah dilakukan dan itu tidak serta merta bisa menyelesaikan masalah air. Bisa dipastikan hal yang sama akan terus berulang. Hal yang dibutuhkan saat ini adalah pengelolaan sungai berkelanjutan melalui pendekatan sosial berperikemansuiaan. Sayangnya, aspek ini sering kali tidak pernah menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam membuat kebijakan pengelolaan sungai. Jika tidak ingin terlambat dan meningkatkan konflik masyarakat atas kebutuhan sumber daya air yang layak, sudah saatnya pemerintah melibatkan masyarakat sebagai subyek aktif dalam upaya pelestarian sumber daya air. (Hendra Aquan – Transformasi Hijau)