oleh Robin Hartanto
Kota dan kehidupan di dalamnya bergantung penuh pada air. Bagi kota, air bukan hanya berkat, tapi juga kutukan. Ketika berlebih dan tidak terkontrol, air dapat menghancurkan kota dalam sekejap. Ketika kurang, keberlangsungan hidup manusia terancam.
Maka ketika para sejarawan berkata bahwa keberadaan air adalah mula peradaban, bukan tidak mungkin bahwa air pula yang akan mengakhirinya. Dalam bukunya The World Without Us, Alan Weisman mencoba menginvestigasi apa yang akan terjadi dengan kota New York tanpa manusia. Setengah jam, air mencapai ketinggian yang membuat kereta api tidak bisa lewat lagi. 36 jam, sebagian besar kota New York tenggelam. 20 tahun, kolom-kolom baja yang menopang jalan mengalami korosi dan runtuh.
Tidak heran bahwa Singapura memprioritaskan air sebagai prioritas dalam pengelolaan lingkungan. “Every other policy had to bend at the knees for water survival,” sebut Lee Kuan Yew dalam acara Singapore International Water Week tahun 2008.
Lalu, bagaimana dengan Jakarta? Berbagai masalah, dari segi kuantitas maupun kualitas air, siap menjawab pertanyaan ini.
J. J. Rizal pernah menulis bahwa tingkat keamanan air bersih di Jakarta hanya sektar 2,2 persen, atau jika ditambah dengan air tanah menjadi 27,2 persen (bandingkan dengan Singapura yang mencapai 98 persen). Penelitian Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) mengungkapkan fakta yang lebih mengerikan. Mutu aliran sungai di 45 titik pantau di 13 DAS Ciliwung pada 2010: kondisi baik nol persen, tercemar ringan sembilan persen, tecemar sedang sembilan persen dan tercemar berat 82 persen. Tidak mengherankan, karena 2,5 persen timbulan sampah Jakarta (600 m3/hari) mengalir di Sungai Ciliwung.
Ironisnya, dengan curah hujan yang sangat tinggi, kelangkaan air bersih tetap saja terjadi. Salah satu air termahal di dunia bahkan dijual di Jakarta, tepatnya di gang-gang sempit di daerah Pademangan Timur. Firdaus Ali dari Badan Regulator PAM DKI Jakarta mengungkapkan bahwa warga di sana membeli air dengan harga 37 ribu hingga 75 ribu rupiah per meter kubik.
Air tanah menjadi solusi yang siap menghantam kembali. Penurunan air tanah nyata terukur. Data 2007-2008 menunjukkan bahwa bagian utara Jakarta mengalami penurunan 17-26 sentimeter per tahun, dengan kecepatan pemompaan yang semakin meningkat tiap tahunnya.
Dengan latar tersebut, diskursus tentang kota dan air, sangatlah relevan dan mendesak. Oleh karena itu, RCUS mengangkat topik “Kota dan Air”, yang akan diisi dengan beragam program yang saling mengisi. Yuyun Ismawati, seorang aktivis lingkungan yang pernah memenangkan Goldman Prize, akan berbagi cerita tentang kota dan air di RujakTalk. Di RujakScreen, kami akan menampilkan berbagai film dokumenter tentang Sungai Ciliwung, salah satunya From Communities: Towards an Integrated Water Resource Management karya Gekko Studio. Berbagai komunitas seperti Sanggar Ciliwung Merdeka dan Komunitas Peduli Ciliwung turut kami undang untuk bercerita tentang program-program mereka dalam RujakShare.
Mari berbagi!
Kurator Acara: Robin Hartanto