Di balik rimbunan hutan beton Jakarta, apakah kita masih bisa menemukan mahluk hidup eksotis selain manusia? Percaya atau tidak, kita masih bisa menemukan satwa eksotis seperti di hutan lebat saja. Lokasi ini berada di pesisir utara Jakarta, salah satu kawasan lahan basah yang selamat dari tangan jahil manusia.
Kawasan Hutan Angke Kapuk (HAK) di pesisir utara yang terdiri dari Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA), Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) dan Taman Wisata Alam (TWA) ini terkenal sebagai habitat hutan mangrovenya. Percaya atau tidak, di kawasan yang terkepung perumahan mewah Pantai Indah Kapuk ini kita masih dapat menemukan mamalia, 104 jenis burung, 8 jenis mangrove sejati dan 7 jenis tumbuhan khas lahan basah lainnya.
Nah, saat berkunjung ke hutan mangrove dan berpapasan dengan kelompok satwa ini, kita pasti sudah familiar. Ada yang pernah melihat monyet yang pintar bermain topeng? Satwa yang dimaksud adalah monyet. Secara ilmiah terkenal sebagai Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) karena memang ekornya yang panjang. Monyet ekor panjang sangat berperan penting dalam menjaga dan mengatur keseimbangan alam dengan cara memencarkan biji tanaman mangrove yang dimakan (Pijl , 1982).
Survey dan monitoring populasi Monyet ekor panjang yang dilakukan Yayasan IAR Indonesia tahun 2011 di HAK menemukan 148 ekor Monyet ekor panjang dari 7 kelompok. Satwa ini terkenal sebagai mahluk sosial seperti manusia, sehingga sangat senang untuk berkelompok. Monyet ekor panjang memanfaatkan potensi tumbuhan lahan basah sebagai sumber pakan utamanya. Bagian tumbuhan yang dimakan Monyet ekor panjang antara lain daun, buah, tangkai, kulit batang, akar, bunga, umbut. Dari 8 jenis tumbuhan yang sering dimakan, makanan favorit monyet ekor panjang adalah jenis tumbuhan mangrove, seperti Pidada (Sonneratia caseolaris), Api-api (Aviciena), Nipah (Nypa fruticans wurmb).
Mencoba memakan botol plastik |
Di balik berlimpahnya makanan alami bagi kawanan Monyet ekor panjang tersebut, ternyata ada ancaman yang masuk melalui aliran sungai Angke. Tidak hanya mengancam kelestarian kawanan Monyet ekor panjang, tetapi juga tumbuhan mangrove, sumber pakan alami Monyet ekor panjang. Dampak yang terlihat adalah adanya perubahan perilaku makan. Berdasarkan studi lapangan IAR, Monyet ekor panjang menghabiskan 40% waktunya untuk mencari sisa makanan dari sampah yang hanyut di sungai. Perilaku makan yang menyimpang ini tentu akan mengancam kesehatan satwa jika ada bagian plastik yang ikut termakan. Potongan platik tersebut akan mempengaruhi sistem pencernaan dan dapat berakibat dengan kematian.
Di samping sampah yang nampak, ternyata ancaman lain juga datang dari ancaman yang tidak terlihat mata. Pencemaran air sungai Angke juga ikut mengancam kelestarian satwa penghuni lahan basah Jakarta ini. Pencemaran air baik yang bersifat organik maupun non organik seperti logam berat yang masuk ke dalam kawasan hutan mangrove, perlahan tapi pasti akan mempengaruhi keberlangsungan hidup ekosistem mangrove sebagai kawasan lahan basah dan para penghuninya.
Mari lindungi kawasan mangrove, rumah Monyet ekor panjang dengan tidak membuang sampah sembarangan. Selamat memperingati Hari Lahan Basah Sedunia, dan bersama kita menjaga lahan basah terakhir yang kita miliki. (Ayut Enggeliah – Yayasan IAR Indonesia)