Teman-teman Caca yang pernah main ke Ciliwung Condet |
Sinar matahari pagi mengintip dari sela-sela daun beringin di tepian sungai Ciliwung. Tak jauh berselang, batang-batang pohon bambu meliuk-liuk diterpa semilir angin yang menyejukkan. Kicauan burung terdengar merdu bersahutan seakan menyambut kedatangan Caca, gadis kecil bertopi ungu dan menggendong tas ransel biru yang berisi bekal makan siang dan minuman segar yang disiapkan bunda tadi pagi. Hari ini Caca diajak ayah untuk bertamasya di tepian sungai Ciliwung.
Untuk pertama kalinya Caca melihat sungai yang mengalir dari Bogor sampai Jakarta ini secara langsung. Sungainya besar dan airnya jernih. Dari kejauhan terlihat alirannya yang berkelok dengan arus yang membentuk pola yang unik karena air membentur batu-batu yang ada disana. Biasanya, ia hanya melihat sungai seperti ini di buku-buku cerita yang dibacakan bunda sebelum tidur. Matanya yang bulat berbinar-binar melihat pemandangan yang menakjubkan itu. Bola matanya tak berhenti bergerak untuk menangkap pemandangan dari berbagai sisi. “Indah sekali!”, seru Caca. “Ayo kita turun, yah! Kita main air, yuk! Ayo, ayah… Cepetan….”. Caca tak sabar untuk bergabung dengan teman-teman seusianya yang telah sampai terlebih dahulu dan sedang bermain air di tepian sungai. Ada juga yang berenang dengan pelampung berwarna oranye ditemani paman-paman yang berpengalaman.
“Caca mau berenang?”, tanya ayah sambil menyodorkan pelampung untuk Caca. “Mau! Tapi Caca takut tenggelam dan hanyut, yah”. Dengan tenang ayah menjelaskan bahwa ia takkan tenggelam karena menggunakan pelampung yang dapat membuatnya mengapung selama di atas air. Ayah juga ikut turun bersama kakak-kakak yang menjaga anak-anak agar tidak hanyut terseret arus. Akhirnya Caca memberanikan diri untuk berenang.
Arus sungai di tempat Caca berenang cukup tenang, jadi Caca bisa menikmati setiap jengkal pemandangan disana. Di balik batu Caca melihat kepiting yang sedang bersembunyi. Tak hanya itu, caca juga melihat ikan-ikan kecil yang sedang mencari makan. “Ayah, lihat! Ada ikan yang bentuknya sama dengan yang di akuarium kakek!”, seru Caca sambil menunjuk pada salah satu sisi sungai. Caca ternyata melihat ikan sapu-sapu. Kata ayah, ikan ini sebenarnya bukan dari sungai Ciliwung. Tapi seiring berjalannya waktu, ikan ini berkembang biak dan mudah dijumpai di sungai ini. Dan karena airnya cukup jernih, Caca dapat melihat beberapa hewan-hewan air yang hidup di dalamnya seperti kerang, katak, cacing, siput, dan lain-lain.
Caca menengadahkan kepala untuk menikmati cerahnya hari itu. Tampak beberapa burung terbang diatasnya, melintasi langit biru dan gumpalan-gumpalan awan putih yang menyerupai gulali. Caca terus memperhatikan burung-burung itu, karena sepertinya ia mengenal burung-burung tersebut. Tubuhnya tidak terlalu besar dan warnanya hitam. Ketika terbang, bentuk tubuhnya lucu sekali. “Itu burung walet!”. Tangannya yang mungil melambai-lambai kemudian berseru, “Terbang yang tinggi, burung-burung cantik! Buatlah sarang yang nyaman untuk tempat tinggalmu bersama anak-anakmu!”.
Ketika kepalanya menengok ke arah kanan, ada sebuah pohon besar yang menarik perhatiannya, pohon itu sedang berbuah banyak sekali. Warna buahnya jika sudah matang berwarna merah, tapi kalau masih mentah berwarna hijau terang. Bentuknya bulat seperti buah lobi-lobi. Ayah pernah cerita tentang pohon itu, kalau tidak salah namanya pohon Loa atau ada juga yang menyebutnya Elo. Akarnya kekar dan kuat mencengkram tanah. Sehingga ketika sungai Ciliwung airnya sedang banyak, tanah yang ada disekitarnya tidak longsor dan membahayakan orang-orang yang tinggal di sekitar sungai. Caca juga bertemu dengan paman yang sedang memberi makan ikan-ikan yang ada di dalam sebuah kotak yang terbuat dari kayu, orang-orang biasa menyebutnya keramba. “Hati-hati lepas ikannya, ya Paman!”. Paman itu pun melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum, seraya berkata ”Iya, hati-hati juga, anak manis!”.
Caca pun asyik menepuk-nepukkan tangannya diatas air sambil mengayun-ayunkan kakinya. Namun tiba-tiba ia merasa ada yang mengguncangkan tubuhnya, dan ia mendengar suara yang sangat lembut berkata, “Caca sayang, ayo bangun.. Katanya mau ikut ayah ke sungai..”. Ternyata itu suara bunda. Caca kemudian membuka kedua matanya dan tersadar bahwa ia masih ada di dalam kamar. Ternyata keasyikan berenang di Ciliwung tadi hanya di dalam mimpi. Ia sama sekali belum membuat bajunya basah oleh air sungai yang membelah kota Bogor itu. Caca berharap sungai yang Ciliwung yang akan didatanginya sama seperti yang ada di dalam mimpinya tadi.
“Om, Tante, dan Kakak-kakak yang baik, tetap SEMANGAT untuk menjaga kelestarian Sungai Ciliwung ya! Supaya air mbah Tjiliwoeng bisa mengalir dengan leluasa tanpa dihalangi tumpukkan sampah, jadi rumah temen-temennya Caca yang ada di Jakarta ndak kebanjiran. Terus supaya Caca bisa berenang deh sama temen-temen, seperti di mimpinya Caca… Asiiiikk….”
# Terinspirasi dari kegiatan “Nimbrung di Ciliwung” dan “Kemping di Ciliwung” lalu.. Maaf y klw telat.. hehehe… ^_^
Penulis: Indriyani Nie’yAby
Sumber tulisan: http://bit.ly/zLioxe
Penulis: Indriyani Nie’yAby
Sumber tulisan: http://bit.ly/zLioxe