Foto: HM Ihsan Kusasi |
Sesuai undangan, maka jam 9:10 pagi gue sudah nongkrong di depan loket masuk. Tiket buat 1 orang akhirnya di tangan. Maaf kalau gue telat 10 menit, padahal gue sudah bela-belain pake taksi mengejar ontime, melabrak rencana awal untuk naik angkot dengan jurusan Ragunan.
Di depan pintu masuk tidak ada rombongan sedang menunggu. Nah lho! Feeling guilty segera menyergap karena gue telat. Benar gue telat? Salah! Ternyata gue datang kepagian, di mana akhirnya rombongan terkumpul dan baru masuk TM Ragunan pukul 11:00. Hmm… typical sebuah kegiatan anak-anak muda Jakarta sekarang, bila dilakukan beramai-ramai. Mengingatkan gue atas kegiatan serupa yang banyak memberi pelajaran….
Flashback. Saat masih kuliah di akhir tahun 80an dan awal 90an, gue suka bekerja sambilan menjadi tour guide. Kali ini gue dapat serombongan tourist dengan special-interest: mereka yang menamakan dirinya kelompok Bird Watching. Apa itu Bird Watching?
Bird Watching adalah sebuah kegiatan pengamatan terhadap burung-burung dengan mata telanjang, dibantu oleh alat pengamatan seperti teropong binokular atau dengan mendengar suara burung. Istilah Bird Watching pertama kali dipakai pada tahin 1901, sedangkan kata bird sendiri mulai digunakan sebagai kata kerja di tahun 1918.
Menjadi tour guide kelompok Bird Watching merupakan kegiatan yang mudah, bukan? Apalagi rutenya cuma dari gerbang Cibodas menuju air terjun Cibeureum, di dalam Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Waktu yang dibutuhkan cuma antara 1-2 jam tergantung kondisi fisik tourist.
Namun kali ini gue salah: rombongan tourist dari Amerika ini terdiri dari pasangan usia lanjut! Umur mereka berkisar 55-65 tahun. Jeddeerrr..! Bagai terkena petir siang bolong! Gue sudah bisa bayangin seberapa lama nanti waktu perjalanan sepanjang menuju air terjun Cibeureum….
Well, this job must be done anyhow. Dan bayangan gue akhirnya menjadi kenyataan: waktu tempuh menjadi dua kali lipat, yaitu 4 jam. Tidak itu saja. Sepanjang jalur trekking, gue harus menuntun (baca: memegang lengan) seorang nenek yang fiskinya kurang kuat, namun pendengaran akan suara burung begitu kuat dan presisi!
Terbukti bahwa secara berkala dia berhenti selama 1-2 menit — saat ada kicauan burung — untuk mengamati melalui teropong binokular, terkadang memotret dengan kamera berlensa tele. Lalu nenek ini membuka buku panduan Bird Watching, dan dia mencatat species burung apa yang baru saja terlihat. Tidak lupa timestamp saat pengamatan terjadi.
Sehingga banyak hal yang gue pelajari, justru dari unexpected-tourist seperti ini:
Pertama, disiplin waktu. Walau mereka tourist usia lanjut dan dalam konteks sedang jalan-jalan di luar negara mereka, namun mereka semua — sesuai rundown acara yang disiapkan panitia — sudah siap untuk trekking pengamatan tepat pukul 08:00 dengan segala perlengkapan tergantung di badan: teropong binokular, kamera dengan lensa tele, backpack berisi makanan dan minuman ringan, buku panduan Bird Watching, buku catatan, pensil, dan… tentu saja sunblock… hihihi… tourist geto lho…
Kedua, methodology pengamatan yang efisien. Mungkin karena kegiatan Bird Watching sudah mereka lakukan bertahun-tahun, maka setiap pengamatan terhadap seekor burung cuma membutuhkan waktu maksimal 3 menit. Sudah termasuk pencatatan dan membuat dokumentasi foto.
Ada yang menarik saat secara iseng gue tanya species burung yang sedang dia amati: jawabnya ringan, “woodpecker”. Hah..?! Jadi di Indonesia ada woodpecker..? Gue kirain saat itu woodpecker atau burung pelatuk cuma ada di Amerika, sesuai karakter cartoon bernama Woody Woodpecker… hihihi… tengsin.com
Ketiga, jalan-jalan sambil cari uang. Hal ini gak pernah gue sadari, sampai pada saat rombongan sudah sampai air terjun Cibeureum….
Saat istirahat di depan air terjun, temen gue yang bertugas sebagai chef rombongan menyediakan makan siang ala tourist Amerika. Tiba-tiba seorang yang paling muda dari mereka membuang piring makanan ke tanah. Sekilas gue kira dia marah karena makanan yang tidak enak. Namun, tidak sampai sedetik dia langsung menyambar kamera lensa telenya, dan segera memotret multiple-shot seekor species burung yang melintas di atas pohon sekitar air terjun Cibeureum….
“I got five hundred each..!” teriak tourist termuda tadi. “What..?” sontak gue masih kaget karena piring dibanting….
Dia segera kembali duduk dan mengambil buku panduan Bird Watching, mencari-cari di beberapa halaman, lalu menunjukkan ke gue: “[translasi] lihat species ini, sangat jarang, dan foto yang saya buat tadi bisa menghasilkan 500 dollar per frame untuk foto kalender!”. Wuihh… uang segitu cukup untuk biaya kuliah gue setahun..! Pelajaran berharga yang menginspirasi gue untuk mulai menabung dan membeli kamera bekas untuk belajar dan nantinya mengimbangi gue dalam kegiatan outdoor.
Kembali ke TM Ragunan. Kegiatan kelompok bervisi EcoGreen ini sejatinya untuk mengenalkan Bird Watching kepada siswa-siswi beberapa SMA di Jakarta. Peserta biasanya dari kelompok pecinta alam di sekolah masing-masing. Kegiatan yang sangat positif dan gue acungi dua jempol kepada panitia dan fasilitator yang ternyata masih pada kuliah di universitas.
Sedang gue sendiri sebagai apa? Gak lebih cuma sebagai penggembira… hihihi…. Terbukti bahwa, di tengah acara Bird Watching, gue malah mohon izin ke panitia untuk jalan sendiri mengambil foto-foto margasatwa lain yang tersebar di sana, tentu saja setelah mengambil beberapa foto burung koleksi TM Ragunan seperi di atas ini.
Siapa yang tidak kenal TM Ragunan? Semua penduduk Jakarta pasti kenal dan tahu lokasinya dimana. Satu hal yang ingin gue sampaikan: TM Ragunan adalah harta karun terpendam untuk belajar banyak hal. Tidak saja baik buat anak-anak kita mengenal margasatwa, juga baik untuk kita menghayati betapa Maha Kuasa Tuhan dalam menciptakan beragam mahluk di dunia ini.
Untuk yang belum pernah ke TM Ragunan, foto-foto berikut adalah hasil hunting dari seorang peserta Bird Watching yang desersi di tengah jalan… hihihi… please enjoy sightseeing… cheers…. (
HM Ihsan Kusasi – sahabat TRASHI)
Kalau di Kalimantan Barat blm punya taman se kompleks ragunan Mas, ya minimal punya deh tepatnya di Kota Singkawang. Area pegungunan dan sebelah baratnya kita bisa melihat lautan.
Kalau ke Kalimantan Barat boleh mampir ke sini Mas, melihat keanekaragaman yg ada di Kalimantan Barat.
Saya izin pasang link TRASHI.COM di blog sy http://jejaringkimia.blogspot.com.
Terima kasih.
silahkan kawan Chelonia mydas 🙂 terima kasih sudah mampir dan berjejaring dengan kami. Semoga kita bisa saling tukar informasi untuk konservasi lingkungan kita. Salam lestari