Bila dianalogikan, iklim seperti halnya teman bagi manusia. Jika kita berkelakuan baik diapun akan baik kepada kita; juga sebaliknya. Sayang, masih banyak di antara kita yang menganggap segala hal di muka bumi ini ada untuk kita manfaatkan sebesar-besarnya. Paradigma itulah yang harus kita ubah. Bagaimana dengan “manusia membutuhkan alam, begitupun alam terhadap manusia”? Lebih baik dan netral, bukan?
Untuk itu sebagai orang yang tidak egois, seharusnya kita bisa bertingkah laku lebih bijaksana dalam menyikapi climate change. Hal utama adalah mengubah pola pikir. Bila di kepala kita sudah tertanam bibit-bibit sadar dan care terhadap lingkungan, tinggal kita melakukan adaptasi dan mitigasi dalam kehidupan sehari-hari. Semua orang dari berbagai kalangan bisa turut andil kok. Tidak hanya para intelektual, pembuat regulasi (pemerintah) dan orang-orang ‘penting’ saja. Karena seyogyanya, pemicu dan dampak perubahan iklim berasal dan dirasakan semua orang. Contoh: ibu rumah tangga. Harga sembako dan kebutuhan pangan tidak ada pasokan, harga melambung tinggi, dan lainnya. Perubahan iklim turut berperan dalam kasus ini. Cuaca yang berubah secara ekstrem, tidak bisa diprediksi dan tidak sesuai musim membuat petani kehilangan arah dalam kegiatan bertani mereka. Hasilnya? Gagal panen.
Maka diperlukan penanggulangan dan untuk bagian sederhananya, terapkan saja easy green living di rumah dan kehidupan sehari-hari. Menyisihkan lahan untuk menanam tumbuhan, membuat biopori, menghemat energi di rumah dan banyak lagi. Asal jangan berkoar-koar “go green” tapi setiap hari rambut selalu dipakaikan hairspray. Sama juga bohong.
Menjadi kreatiflah karena itu yang kita perlukan untuk memerangi masalah perubahan iklim ini. Pengaruhilah orang-orang terdekat dan semua yang Anda kenal untuk merubah pola pikir mereka. Setiap dari kita punya potensi untuk berubah dan membawa perubahan, loh. Jangan anggap remeh diri sendiri.
Terakhir, selalu ingat: hukum tabur-tuai itu eksis, kawan! (Claudia Von Nasution)